Memalukann! Iya, memang kami memalukan. Kami tinggal di
daerah peresapan air tetapi sumur-sumur kami sudah kering. Selama saya
hidup di sini, saya tidak pernah kekurangan air. Mandi di sungai memang pernah,
tetapi kaena jaman dulu kami memang belum punya kamar mandi di rumah. Sejak,
1990, setiap rumah sudah mempunyai sumur sendiri. Sejak saat itulah kami mulai
meninggalkan budaya cuci, mandi, dan kakus di sungai.
Jarak kampung kami kurang lebih 20 km dari puncak Gunung
Merapi. Sebagai daerah peresapan air, kami merasa ‘tidak mungkin’ kami mengalami
kekurangan air seperti di kecamatan lain di Kabupaten Sleman yang jaraknya lebih jauh dari Gunung Merapi. Hasil panen di kampung kami melimpah ruah. Bencana juga tidak pernah.
Ketika gempa Bantul di Jogja, dampak di kampung kami hanya sedikit. Ketika Gunung
Merapi meletus, kami ‘hanya’ terkena abu. Kami masih bisa bertahan hidup dan rumah kami
baik-baik saja.
Kami tidak menyangka bahwa musibah ini musibah yang kami buat sendiri.
Ikut “trenyuh” dengan kondisi kekeringan yang ada di di
berbagai penjuru Indonesia, ternyata kami pun ikut “menikmati”nya. Ya, kami tidak menyangka bahwa musibah ini ini adalah musibah yang kami buat sendiri.
Sumur-sumur kami kekeringan. Hasil panen kampung kami gagal
total. Cabai mengering dengan harga yang tak
kalah kering. Hasil pertanian lain pun juga sangat kering. Kami tidak pernah menyangka akan terjadi di kampung kami.
Sementara itu, kami melihat sebuah perusahaan dan pemancingan sedang
memakai air yang melimpah.
![]() |
Keringnya Pertanian Kampung Kami, Oktober 2015 Sumber : Dokumentasi Pribadi |
Sekitar setahun yang lalu, di kampung kami dibangun
pemancingan dan sebuah perusahaan makanan. Letaknya di tengah dan utara kampung. Di pemancingan dibangun sumur bor satu sedangkan di perusahaan makanan dibangun tiga sumur bor. Kami setuju-setuju saja dengan
pendirian tersebut karena karyawan dari bisnis tersebut melibatkan orang kampung
kami. Harkat dan derajat kampung kami meningkat. Uang kami pun berlipat.
Pengangguran berkurang.
Tapi kini musibah terjadi, kami ternyata tidak bisa mandi dan minum dengan uang.
Sudah sebulan kami tidak bisa mandi dan cuci baju lagi. Air
yang kami minum harus beli dari air kemasan. Uang kian mengalir deras menjadi kebutuhan untuk laundry dan minum. Padahal, awalnya kami
memakai air dengan gratis!
Ah, ini salah kami. Kami terlalu sombong Tuhan akan
selamanya menyediakan dengan gratis dijaga atau tidak.
Bagaimana solusi jika sudah terkena kekeringan?
- Bijak apabila ada industri masuk ke lingkungan kita. Pikirkan dampak jangka panjang.
Air merupakan kebutuhan primer. Segala
sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhan primer tentu saja harus kita jaga
sebelum habis. Lalu bagaimana jika sudah habis? Tentu saja nasi sudah
menjadi bubur. Hal yang bisa kita perbaiki yaitu dengan tidak menambah
kerusakan. Jika musim hujan tiba, tentu kekeringan tidak terjadi. Jangan
ijinkan perusahaan lagi untuk mengebor sumur dalam walaupun dengan iming-iming
uang yang cukup besar. Karena hidup tak selalu cukup dengan uang.
- . Jika terkena musibah kekeringan, musyarawarah dengan pihak perusahaan
Musyawarah dengan tidak saling menyalahkan
merupakan jalan yang terbaik. Pihak masyarakat dapat bermusyawarah dengan pihak
perusahaan untuk mengurangi sumur bor agar air tanah dalam tidak habis.
Bukankah pada PERDA 4 tahun 2014 tentang
Pengelolaan Air Tanah disebutkan bahwa pengeboran air dalam harus diatur
jaraknya? Jika terlalu dekat dengan pemukiman penduduk dan merugikan penduduk
sekitar, seharusnya segera dikendalikan sebelum kekeringan tahun depan lebih
panjang.
Saling menyalahkan bukanlah solusiSetelah terjadi musibah ini, tentu saja saling menyalahkan hanya akan memperkeruh suasana. Air tak ada, permusuhan pun timbul. Saling menuntut yang terjadi. Padahal, kesalahan semua pihak yang tak bijak menggunakan air. Ada baiknya, jika perusahaan dan masyarakat gotong royong untuk menyelesaikan masalah. Misal, gotong royong membeli air untuk cadangan selama musim kemarau.
- Perusahaan bijak menggunakan air dan berempati dengan masyarakat.
Yang terjadi di kampung kami adalah
perusahaan memanfaatkan air tanpa ada rasa empati terhadap masyarakat. Bahkan,
air bor tersebut untuk menyiram halaman. Padahal, pada PERDA Kabupaten Sleman No 4 Tahun
2014 tentang Pengelolaan Air Tanah, salah satu pengendalian penggunaan air tanah dilakukan dengan cara “membatasi
penggunaan air tanah dengan mengutamakan kebutuhan pokok sehari-hari.”
Jika memang kebutuahan untuk pokok perusahaan sudah terpenuhi, untuk menyiram jalan yang berdebu, atau menyiram halaman, seharusnya tidak menggunakan air bersih dari bor. Jika air bersih melimpah ada baiknya disumbangkan ke masyarakat sekitar yang membutuhkan.
- . Perjanjian ulang dengan perusahan agar tidak saling merugikan.
Sampai sekarang kami memang belum mempunyai air bersih. Beruntungnya, air sungai masih mengalir walaupun hanya sedikit. Ya, kami masih
beruntung kami tidak harus mencari air sampai berkilo kilo meter jauhnya. Kami
masih bisa beli air minum kemasan dengan harga wajar. Kami masih bisa laundry
baju walaupun agak jauh. Tapi kalau daerah persesapan air saja sudah kekurangan
air bagaimana dengan daerah di bawah kami? Bagaimana kualitas air di bawah
kami? Bagaimana dampak jangka panjang daerah kami dan daerah di bawah kami?
Jangan menganggap bahwa uang adalah segalanya.
Air tak hanya tanggung jawab Tuhan. Kita punya andil untuk mengubah agar Tuhan memberikan
airnya kembali. Jika tidak kita yang menjaga ketersediaan air, siapa lagi? Jadi jangan salahkan Tuhan ya, jika kekeringan? Mungkin kita sendiri yang salah karena tak menjaga rizki yang diberikan-Nya.
Dan bagaimana kita bersahabat dengan alam ya mak.. Suka dengan tulisannya..
BalasHapusSetuju Mak :D
HapusDan bagaimana kita bersahabat dengan alam ya mak.. Suka dengan tulisannya..
BalasHapusIya Mak...:)
HapusSaya pikir tulisan ini akan panjang,rupanya tidak. Benar-benar ringan dibacanya mak, dan itu judulnya: Kekeringan Bukan Salah Tuhan. Sukaa saya :))
BalasHapusSelamat ya mak udah juara :)
Makasih Maak :*
HapusWah, dampaknya langsung terasa ya? hampir mirip dengan yang di cokro klaten
BalasHapusIya, langsung terasa. aplagi sekarang musim hujannya nggak selalu hujan. Air dikit maksudnya :D Yag paling kasihan sebnarnya petani, sih
Hapusselamat yaaa atas kemenangannya, tulisannya bagus, kena banget bahwa memang air itu kebutuhan primer dan belum tentu bisa diganti dgn uang
BalasHapusSetuju :D Makasih udah mampir ya :)
HapusConhratz mbak :)
BalasHapusTerimakasih :D
Hapusbarakallah mba
BalasHapusTerimakasih ya :D
HapusSelamat ya mbak menang lomba Aqua, keren
BalasHapusMakasih :D
HapusSelamaatt ya maakk, tulisannya menggugah kesadaran, uang
BalasHapussama-sama :D terimkasih sudah berkunjung ya :D
HapusWaaah, berbobot banget, Evrina. Memang layak jadi Jawara nih, wlp Jawara kedua, itu sesuatu banget. Saluut...
BalasHapusLiyaaa, maafin bunda ya, ternyata bunda terobsesi sama Mbak Evrina, sampe-sampe membaca tulisan Liya, bunda mengira telah membaca tulisan Evrinaa...Sekali lagi maafkan bunda, ya. Tulisan Liya sangatlah bagus, bunda jadi salut kepada mereka yang menulis tentang kekeringan ini dengan begitu menginspirasi Aamiin. Selamat ya Liya...
BalasHapusIya nggak papa. Salam kenal Bunda Yati :DMakasih sudah mampir :)
Hapusenak dibacanyaaaa
BalasHapusbukanbocahbiasa(dot)com
Hahahaha... makasih ya :D
Hapuskereeennn, layak jadi juara.
BalasHapusSelamat ya Mbak
Mkasih Mbak ririe :*
Hapus